“Pinjaman Oline Untuk Usaha Lebih Positif, Tapi Pinjol Ilegal Masih Mengancam”

KILAUNEWS.COM – Jakarta -Center of Reform on Economics (Core) Indonesia menyatakan pinjaman daring (Pindar) atau pinjalan onlie (pinjol) yang disebut juga fintech peer-to-peer (P2P) lending berdampak lebih positif jika digunakan untuk kegiatan usaha dibanding kebutuhan non-usaha.
“Dibanding non usaha, pinjaman yang digunakan untuk usaha cenderung mengalami tingkat stres lebih ringan, terutama berkaitan dengan pembayaran cicilan,” ujar Peneliti Senior Core Indonesia dalam seminar di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Jumat, 13 Juni 2025.
Secara umum, Core menilai pindar berdampak positif bagi peminjam, terutama yang menggunakannya untuk kegiatan usaha. Lebih dari 50 persen responden menyatakan pendapatannya meningkat setelah memanfaatkan P2P lending.
Penelitian ini hanya mencakup pindar legal yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK), tidak termasuk pinjaman online ilegal.
Dalam beberapa tahun terakhir, maraknya layanan pinjaman daring, turut membuka celah bagi munculnya praktik pinjol ilegal yang merugikan masyarakat. Dengan berbagai modus yang semakin canggih dan manipulatif, pelaku pinjol ilegal menyasar calon korban melalui beragam saluran, mulai dari pesan pribadi hingga media sosial.
Berbagai Modus Pinjol Ilegal untuk Menjerat Korban
1. Penawaran Lewat WhatsApp dan SMS Semakin Marak
Belakangan ini, marak ditemukan praktik penawaran pinjaman online (pinjol) ilegal melalui pesan WhatsApp dan SMS. Pola ini dinilai semakin agresif, dengan menjangkau masyarakat secara acak, tanpa pandang bulu. Cara kerja pinjol ilegal ini mengingatkan pada modus klasik penipuan seperti “mama minta pulsa”.
Padahal, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) secara tegas telah melarang penyelenggara fintech pendanaan yang terdaftar dan berizin untuk mengirimkan penawaran melalui pesan pribadi, kecuali atas persetujuan dari pengguna yang bersangkutan.
2. Dana Langsung Ditransfer ke Rekening Korban
Modus baru pinjol ilegal kini juga ditemukan dengan langsung mentransfer sejumlah dana ke rekening korban rata-rata sekitar Rp1 juta tanpa adanya pengajuan sebelumnya. Setelah itu, korban akan ditagih untuk membayar pokok pinjaman beserta bunga tinggi oleh pihak penagih.
Ironisnya, ketika korban mencoba melapor, platform tersebut kerap sudah diblokir oleh OJK. Namun, praktik serupa sering muncul kembali dengan nama baru dan metode penagihan yang tetap menekan serta tidak manusiawi.
3. Menyamar dengan Nama Mirip Fintech Legal di Media Sosial
Kasus lain yang juga banyak ditemukan adalah pinjol ilegal yang beriklan di media sosial dengan nama yang menyerupai penyelenggara fintech resmi hanya berbeda satu huruf atau spasi. Tidak jarang, logo OJK juga disisipkan secara ilegal dalam materi promosi mereka guna memberikan kesan legalitas.
Hal ini tentu menjerat masyarakat yang tidak melakukan verifikasi melalui situs resmi OJK maupun Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI).
Lap : Aisyah